Pudarnya Bahasa Ibu
Kita semua pasti sudah sangat terbiasa berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari baik secara tatap muka maupun komunikasi dalam jaringan (daring). Namun, kita tidak menyadari bahasa Indonesia yang kita gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari ini apakah sudah sebenar-benarnya Bahasa Indonesia?
Sebagai bangsa Indonesia kita boleh bangga, karena bahasa Indonesia juga dipakai sebagai bahasa penutur di beberapa negara. Menurut sumber radioaustralia.net.au, Bahasa Indonesia merupakan pelajaran wajib di Australia bahkan menjadi bahasa kedua.
Tidak hanya itu, pada 20 April 2017 lalu, dua orang warga Mesir memenangkan lomba pidato Bahasa Indonesia dengan tema "Pentingnya Belajar Bahasa Indonesia". Kedua peserta lomba tersebut adalah para siswa kursus Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) di Mesir. Bahkan, begitu antusiasnya warga Mesir mempelajari bahasa Indonesia, tercatat sebanyak 2.100 orang warga Mesir yang pernah mengikuti kursus bahasa Indonesia.
Bagaimana menurut Anda? tentu sangat membanggakan bukan saat bahasa nasional kita dipelajari dan digunakan oleh bangsa lain. Fenomena ini jelas menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia sudah demikian diminati oleh warga negara asing. Lalu, bagaimanakah dengan warga Indonesia sendiri? Sudahkah kita bangga dan menggunakan bahasa Ibu dalam kehidupan sehari-hari?
Belum lama ini kita diramaikan dengan kosakata baru yang awalnya mewabah di media sosial hingga akhirnya sering kita gunakan saat berbincang sehari-hari.
“Kids Jaman Now”. Istilah kekinian yang digunakan untuk menyebut ‘keunikan’ anak-anak zaman sekarang. Ada juga istilah “The Power of Emak-Emak” yang digunakan untuk menyindir perilaku ibu-ibu yang suka nyeleneh.
Kedua istilah tersebut saat ini seperti menjadi bahasa umum yang hampir digunakan semua generasi dan seolah telah menjadi bahasa sehari-hari dalam berkomunikasi. Bahkan, tidak jarang bahasa-bahasa yang dianggap ‘kekinian’ tersebut juga dipadankan dengan beberapa kosakata bahasa asing sehingga dianggap lebih modern.
Sebut saja orang lebih terbiasa menggunakan kata “oke/okay” daripada “iya”. Kata “on the way/otw” yang menggantikan penyebutan “sedang di jalan”. Masih banyak lagi penyebutan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-sehari, yang bahkan sepotong-sepotong, kemudian dipadankan dengan Bahasa Indonesia.
Fenomena penggunaan bahasa asing yang diadopsi menjadi bahasa gaul ini tentunya layak kita sayangkan. Minat penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mulai bergeser dan seolah digantikan dengan pemakaian bahasa-bahasa nyeleneh yang sekali lagi dianggap lebih ‘kekinian’.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di zaman sekarang sungguh memprihatinkan. Kemajuan teknologi yang semakin berkembang, memaksa para kaum muda di zaman sekarang kurang memperdulikan penggunaan bahasa Indonesia yang tepat. Ironisnya, pemakai bahasa Indonesia yang baik dan benar justru dianggap kampungan atau tidak keren dan telah ketinggalan zaman.
Namun, kita tidak bisa memungkiri bahwa zaman memang selalu berkembang sehingga anak muda sekarang lebih cenderung menggunakan bahasa atau ungkapan yang sedang marak dan dianggap kekinian.
Sebenarnya, penggunaan bahasa gaul tidak menjadi masalah selama kita tidak melupakan akar rumput berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Apalagi, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin luas, maraknya pertumbuhan bahasa-bahasa gaul juga tidak bisa dibendung.
Untuk itu, hari sumpah pemuda yang jatuh pada 28 Oktober, selalu menjadi momen sakral bagi bangsa Indonesia untuk merefleksi diri perjuangan para pejuang. Alenia ketiga sumpah pemuda yang berbunyi "Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", seharusnya dapat terpatri dalam setiap pribadi bangsa Indonesia.
Kita sebagai generasi penerus harus bangga berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Dengan bangga dan berbahasa Indonesia, berarti kita telah menjunjung tinggi bahasa persatuan seperti yang diikrarkan dalam teks sumpah pemuda. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. (*)